Pertanyaan:
Terkait pertanyaan saya sebelumnya Ustadz, saya saat ini berbisnis franchise, yaitu sebagai pihak kedua berbisnis makanan dengan menggunakan brand (nama dan produk) dari pihak pertama dengan perjanjian membayar royalty setiap bulannya sebesar Rp. 500. 000,- kepada pihak pertama. Jadi tidak dalam persen omset melainkan sudah dipatok nilainya 500 ribu perbulannya. Apa hukumnya bisnis seperti ini Ustadz?
Jazakallahukhoir
Dari: Yoki
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘alaa Rasulillah..,
Impian menjadi pengusaha sukses tiada pernah usang untuk Anda miliki. Bahkan dari hari ke hari, impian ini terasa semakin indah dan menggiurkan. Karenanya, berbagai upaya Anda tempuh, baik yang klasik, maupun baru. Kiat-kiat menjadi pengusaha terus Anda cermati, dan biografi pengusaha sukses, satu demi satu Anda pelajari. Ujung-ujungnya, siapa tahu Anda menemukan kiat dan resep yang cocok untuk Anda, sehingga mimpi indah Anda pun dapat terwujud. Alih-alih kiat tersebut mudah, tidak perlu meras keringat, pikiran, apalagi modal besar.
Di antara kiat menjadi pengusaha sukses ialah dengan mengikuti program waralaba atau franchise. Tidak usah pusing-pusing memikirkan apa yang harus Anda jual, bagaimana, dan tanpa perlu membangun nama atau brand khusus untuk usaha Anda. Sekejap Anda dapat memiliki unit usaha, dengan menjual barang atau jasa yang telah dikenal di masyarakat luas dan dengan menggunakan merek yang telah tenar pula.
Dengan mengikuti sistem ini, seakan Anda memangkas arah kompas perjalanan Anda. Dalam waktu singkat Anda memiliki unit usaha yang dikenal luas di masyarakat. Bukan hanya memiliki, namun Anda juga mendapatkan segudang pengetahuan tentang seluk-beluk usaha yang Anda jalani. Belum lagi dukungan promosi, pendampingan hingga bantuan teknis dari orang yang telah kenyang dengan pengalaman di bidang usaha Anda.
Enak memang, sukses segera terwujud, dan resiko kegagalan dapat diperkecil semaksimal mungkin dan berbagai kemudahan Anda peroleh dengan sistem waralaba.
Walau demikian, sebagai orang yang taat beragama, tentu Anda merasa penasaran ingin [untuk] mengetahui hukum sistem waralaba ini.
Waralaba Ditinjau dari Sisi Syariat
Untuk dapat mengikuti sistem ini, biasanya Anda diharuskan memenuhi beberapa persyaratan, baik berupa persyaratan administrasi atau lainnya. Namun ada beberapa masalah yang layak dikaji, karena memiliki peran besar dalam menentukan hukum sistem ini dalam syariat.
Pertama, Kekayaan Intelektual.
Sistem waralaba, bukan hanya melibatkan jual-beli barang atau jasa semata, namun juga melibatkan penggunaan merek dagang (brand), logo, sistem usaha, manajemen, pemasaran atau tekhnologi pengolahan dan lainnya. Dengan demikian pada sistem waralaba telah terjadi akad sewa-menyewa kekayaan intelektual antara pewaralaba (franchisor) sebagai pemilik, dan terwaralaba (franchisee) sebagai penyewa. Atas penggunaan berbagai kekayaan intelektual ini, terwaralaba (franchisee) wajib menanggung beberapa biaya:
1. Biaya Awal.
2. Biaya jasa manajemen atau lainnya.
3. Biaya lisensi.
4. Biaya atas layanan akutansi.
5. Biaya pemasaran bersama, dan layanan lain yang serupa.
Kedua, Pembagian Keuntungan.
Di antara poin penting yang pasti ada dalam setiap sistem waralaba ialah pembalian [pengembalian] keuntungan. Setiap bulan, pihak terwaralaba (franchisee) diwajibkan membayar fee atau bagi hasil dari keuntungan kotor. Besarnya bagi hasil yang wajib dibayarkan oleh terwaralaba kepada pewaralaba berbeda-beda. Dari mereka ada yang membayar 5 % dan ada pula yang lebih hingga 15 %.
Ketiga, Kepemilikan Unit Usaha.
Kedua belah pihak yang menjalin kerjasama dengan sistem waralaba, masing-masing berdiri sendiri, sehingga pihak terwaralaba berhak atas laba dari usaha yang ia jalankan dan bertanggung jawab atas beban-beban usaha waralabanya. Pihak terwaralaba berkewajiban menanggung beban pajak, gaji pegawai, utang usaha dan tentunya termasuk kerugian. Ketentuan ini berlaku sebagai konsekwensi dari status pihak terwaralaba sebagai pemilik unit usaha.
Pembaca yang budiman, dengan mencermati ketiga realita diatas, Anda dapat menemukan beberapa hal yang layak ‘dipermasalahkan’ secara hukum syariat.
1. Pihak terwaralaba telah membayar uang sewa hak intelektual dan berbagai layanan yang diberikan oleh pewaralaba (franchisor). Dengan demikian, seharusnya ia tidak lagi memungut bagi hasil bulanan dari keuntungan pihak terwaralaba. Adanya pungutan fee bulanan ini, menjadikan nominal nilai sewa hak-hak intelektualnya tidak jelas, atau yang disebut dengan gharar. Dan Anda telah mengetahui bahwa adanya gharar (ketidak-jelasan) pada suatu akad menjadikannya terlarang dalam syariat. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengisahkan:
أن النبي -صلى الله عليه وسلم – نهى عن بيع الغرر
“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli yang bersifat untung-untungan (gharar).” (HR. Muslim)
Hadis ini, walaupun secara khusus berbicara tentang hukum jual beli, namun larangan ini berlaku pula pada akad-akad komersial lainnya.
2. Lain dari permasalahan di atas, ternyata fee yang diambil pewaralaba dihitung dari keuntungan kotor, bukan dari keuntungan bersih. Ketentuan ini sudah barang tentu sangat membebani pihak terwaralaba.
SOLUSI
Sebagai solusi atas dua hal yang menjadi permasalahan pada akad waralaba, maka kedua belah pihak terkait, dapat memilih satu dari beberapa opsi berikut:
Opsi pertama: Menerapkan Akad Serikat Dagang.
Dengan opsi ini, pihak pewaralaba yang bermodalkan hak kekayaan intelektualnya (baca: merk dagang), bersinergi dengan pihak terwaralaba yang bermodalkan dana. Sebagai konsekwensinya, kedua pihak membuat kesepakatan dalam penentuan nilai sewa hak kekayaan intelektual (baca: penggunaan merk dagang) selama batas waktu tertentu. Dengan demikian komposisi modal masing-masing jelas, sebagaimana hak dan kewajiban keduanya-pun telah jelas. Selanjutnya setiap keuntungan yang didapatkan, dibagi ke masing-masing pihak berdasarkan kesepakatan.
Opsi Kedua: Opsi Sewa Hak Kekayaan Intelektual.
Pada opsi ini, pihak pewaralaba memungut uang sewa atas penggunaan hak kekayaan intelektualnya yang berupa merek dagang, dan lainnya, selama batas waktu yang disepakati pula. Namun sebagai konsekwensi opsi ini, pewaralaba tidak berhak mendapatkan fee dari keuntungan usaha.
Dengan menerapkan satu dari kedua opsi ini, maka kedua permasalahan yang dipersoalkan di atas dapat dihindarkan, sehingga dapat memenuhi ketentuan syariat dalam serikat usaha atau sewa-menyewa.
Cacatan Penting
Opsi manapun pilihan Anda, maka pada tahapan aplikasinya, pihak pewaralaba harus benar-benar mentransfer semua sistem, teknologi, dan manajemen usaha yang berlaku. Ketentuan ini bertujuan agar akad waralaba tidak menipu konsumen, sehingga merek dagang yang disewakan kepada pihak terwaralaba bukan sekedar nama kosong. Merek dagang yang selama ini mewakili sistem kerja, teknologi pengolahan dan mutu barang atau layanan, benar-benar didapat oleh konsumen, sehingga tidak ada unsur penipuan.
Penutup
Pembaca yang budiman, aplikasi sistem waralaba yang berjalan di masyarakat tidak sewarna, masing-masing memiliki ciri khas yang membedakan dari sistem serupa lainnya. Bisa jadi di lapangan Anda menemukan sistem waralaba yang sedikit berbeda dari apa yang saya utarakan di atas. Meskipun demikian, garis besar sistem waralaba telah saya paparkan di atas. Dan menurut pertimbangan kaidah-kaidah umum dalam syariat Islam, kedua kritikan yang saya paparkan cukup menjadi pertimbangan untuk mengkaji ulang praktek waralaba yang ada. Semoga tulisan ini menggugah semangat Anda untuk terus melakukan kajian ilmu syariat dan memupuk subur iman Anda.
Wallahu a’lam bisshawab.
Uraian di atas merupakan sinopsis dari artikel yang ditulis oleh Dr. Muhammad Arifin Badri, dan telah diterbitkan di majalah pengusaha muslim edisi 22.
Bagi Anda yang berminat untuk mendapatkan yang lebih lengkap, Anda bisa mengunjungi etalase majalah versi e-book di: shop.pengusahamuslim.com
🔍 Hukum Reksadana Dalam Islam, Pertanyaan Tentang Zakat Fitrah, Gambar Tempat Imam Masjid, Ucapan Ijab Qobul, Perselingkuhan Istri Berjilbab, Sanggul Kartini